Hadirkan Dekan FIB UGM, Antropologi Unkhair Gelar Diskusi Pertambangan
FIB Unkhair – Program Studi Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Khairun menggelar kegiatan diskusi bertajuk Pertambangan di Maluku Utara. Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut adalah Dekan FIB Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Setiadi, M.Si dan dimoderatori salah seorang dosen senior FIB Unkhair, Dr. Safrudin Amin, M.A.

Suasana diskusi pertambangan di ruang terbuka FIB Unkhair
Ketika membuka diskusi, Safrudin yang semula menjadi moderator juga didapuk untuk memberikan pandangannya tentang pertambangan di Maluku Utara. Menurutnya, pertambangan di Maluku Utara dan pada umumnya di Indonesia disebabkan oleh cara pandangan manusia tentang alam. “Dulu orang-orang tua kita menganggap alam itu sebagai sesuatu yang hidup. Dengan demikian, coba kita lihat, orang tua-tua kita dulu mau tebang pohon untuk berkebun saja mereka harus membuat berbagai ritual memohon izin karena alam dianggap hidup dan perlu dihargai,” jelasnya.
Kini, kata Safrudin, cara pandang manusia tentang alam sudah bergeser. Alam dianggap sebagai objek mati yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kehidupan manusia. “Cara pandang ini kalau kita lihat dalam kerangka ilmu pengetahuan maka ini cara pandang positivistik, mungkin adik-adik mahasiswa pernah dengar di kelas-kelas kuliah tentang paradigma positivistik. Paradigma positivisme ini sebenarnya bagus dalam beberapa hal tetapi dengan paradigma ini, alam itu dianggap objek mati yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Jadi yang dipikirkan hanya ekonomi dan ekonomi,” jelas alumnus doktor Antropologi UGM ini.
Sementara itu, Prof. Setiadi menjelaskan bahwa isu tentang pertambangan akan terus terjadi di masa-masa mendatang. Untuk itu, perlu ada strategi untuk menghadapi berbagai tantangan di masa mendatang. Baginya, khusus dalam bidang antropologi, strategi utama adalah antropolog itu sendiri. “Antropolog itu adalah alat utama peneliti. ketika membahas apapun, situasi apapun, kuncinya adalah antropolog itu sendiri,” terangnya.
Menurut Prof. Setiadi, persoalan mendasar saat membicarakan atau mengadvokasi isu pertambangan adalah soal kapasitas, baik individu maupun kelembagaan. “Membangun kapasitas individu dan kelembagaan itu untuk meyakinkan kepada masyarakat sehingga mereka mau mendengarkan suara kita. Kalau kita tidak punya pengalaman dan kapasitas itu maka apa yang akan kita sampaikan kepada masyarakat terkait masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat, termasuk pertambangan,” terangnya lagi.
Kapasitas individu maupun kelembagaan, lanjut Prof. Setiadi, harus mengakar kuat di tengah masyarakat sehingga langkah-langkah advokasi untuk membela hak-hak rakyat dapat memengaruhi kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat. “Kita tidak bisa menjangkau Halmahera Tengah atau di mana pun itu kalau orang tidak tahu siapa kita. Harus mengakar kuat di mana masyarakat tempat anda berdiri itu harus kuat. Masalah tambang itu tidak bisa satu-dua tahun, tapi kalau kita bergarak secara sistematis maka satu dua tahun kedepan suara kita akan didengar,” imbuhnya.
Selain kapasitas, menurut Prof. Setiadi, kata kunci yang harus dipegang oleh setiap orang atau lembaga adalah ideologi keberpihakan. “Kata kuncinya adalah membangun kapasitas ideologi keberpihakan terhadap masyarakat yang termarjinalkan,” tegasnya. (*)