Tampil di Metro TV, Safrudin Jelaskan Kehidupan Orang Togutil
FIB, UNKHAIR – Safrudin Abdulrahman, ketua Program Studi Antropologi Sosial diundang Metro Tv salah satu stasiun TV nasional, untuk menjelaskan kehidupan suku Togutil di hutan Halmahera. Kehadiran Safrudin berkenaan dengan dugaan pembunuhan yang dilakukan oleh suku Togutil pekan lalu di kawasan Halmahera Timur.
Sebelum wawancara dilangsungkan, wartawan metro TV memulai pengantarnya dengan menyebut Suku Togutil sebagai orang yang tidak beradab. Safrudin yang diberi kesempatan untuk menjelaskan tentang kehidupa suku Togutil langsung meluruskan pernyataan tersebut. “Kalau dibilang tidak beradab (suku Togutil), sebenarnya tidak juga, karena mereka (Togutil) memiliki kehidupan yang sama seperti kita (yang di kota). Hanya saja mereka hidupnya di hutan,” katannya meluruskan.
Menurut Safrudin, istilah Togutil sebeneranya bukan berasal dari suku yang dituju tersebut. Orang yang sering disebut dengan istilah Tugutil itu justru tidak tahu dengan istilah itu. Mereka menyebut dirinya dengan sebutan orang hutan. “Dalam bahasa mereka disebut Ohongana manyawa (orang yang tinggal di hutan) atau ohonganoka,” jelas pria yang sering disapa Kepala Suku tersebut.
Saat ditanya terkait penyerangan atau potensi ancaman keberadaan suku Togutil bagi masyarakat di wilayah Halmahera, Safrudin menegaskan bahwa tidak ada potensi ancaman apapun. “Sejauh ini saya tidak melihat serangan seperti itu (dugaan pembunuhan). Tapi mereka juga bisa marah kalau ada kejadian-kejadian seperti merusak perangkap hewan buruan mereka, atau merusak kebun mereka, itu mereka bisa marah. Tapi sejauh ini mereka tidak langsung membunuh begitu,” imbuhnya.
Pertanyaan lain yang juga dijawab Safrudin adalah perihal keberadaan suku Togutil di hutan. Menurutnya, hutan adalah kehidupan bagi masyarakat Togutil sehingga tidak bisa dipaksakan harus menetap di kota. “Kehidupan mereka memang di Hutan, jadi hutan itu adalah kehidupan mereka. Mereka tidak akan keluar atau hidup dengan masyarakat di pesisir apabila tidak ada hal-hal yang membuat mereka harus keluar,” tegasnya pria yang sering masuk-keluar hutan bersama orang Tugutil tersebut.
Berdasarkan pengalaman, Safrudin mengaku suku Togutil adalah komunitas masyarakat yang mudah dijadikan sahabat. “Sebenarnya kalau kita lihat, susah untuk terjadi gesekan, karena orang Togutil itu kalau ketemu lebih dari dua kali, persahabatan akan terjadi di situ. Mereka biasanya menyebut ohobata (sebagai teman). Jadi tidak ada gesekan sebenarnya, kecuali memang kita yang mengusik mereka,” akunya menanggapi pertanyaan wartawan tentang cara terbaik menghindari gesekan dengan komunitas Togutil.
Pria yang menyelesaikan S2 pada Program Studi Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada dengan topik tentang kesehatan tradisional pada komunitas Togutil itu juga membeberkan tentang program bantun pemerintah terhadap suku Togutil. “Sejauh ini pemerintah telah melakukan program-program yang sifatnya membantu orang Togutil, dalam program Komunitas adat terpencil (KAT) oleh Kementerian Sosial. Tapi itu belum menyentuh semua komunitas yang ada di pedalaman Halmahera. Ada lokasi-lokasi yang bisa dijangkau ya dijangkau (diberi bantuan) tapi ada yang belum bisa dijangkau,” bebernya. (*)