Pusat Studi Melanesia Unkhair Gelar Seminar Nasional
FIB Unkhari – Pusat Studi Melanesia, salah satu pusat studi yang berada di bawah Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Khairun (Unkhair) menggelar kegiatan seminar nasional, Selasa (8/8/2023), di Aula Nuku, Gedung Rektorat Unkhair. Kegiatan yang mengangkat tema “Masa Depan Indonesia dan Peran Maluku Utara sebagai Episentrum di Kawasan Melanesia” ini menghadirkan sejumlah narasumber, baik lokal maupun nasional. Narasumber yang hadir sebagai pembicara kunci secara luring adalah Dr. M. Ridha Ajam, Rektor Unkhair; H. Husain Alting Syah, S.E., M.M., Sultan Tidore sekaligus anggota DPD RI; Dr. Yayan G. H. Mulyana, Kepala Badan Kebijakan Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri RI; dan Prof. Dr. Setiadi, M.Si., Dekan FIB Universitas Gadjah Mada. Sementara pembicara kunci yang hadir secara daring adalah Dr. Melyana Ratna Pugu, S.I.P., M.Si., Ketua Pusat Studi Indo-Pasifik, Universitas Cendrawasih.
Dekan FIB Unkhair, Dra. Nurprihatina Hasan, M.Hum, saat menyampaikan sambutannya mengatakan bahwa seminar tersebut merupakan salah satu upaya untuk mendiskusikan potensi dan peran strategis Maluku Utara dalam kawasan Melanesia. “Serta bagaiaman peran tersebut dapat berdampak terhadap masa depan Indonesia,” katanya.
Seminar ini juga, lanjut Ibu Ina, begitu sapaan karib Dekan FIB, seminar nasional tersebut merupakan langkah awal memulai kolaborasi antara lembaga pusat dan daerah. “Ini langkah awal kerja sama kita antara pusat dan daerah yang dijembatani oleh perguruan tinggi, dalam hal ini Universitas Khairun,” imbuhnya.

Para narasumber sedang memaparkan materinya
Sementara itu, Rektor Unkhair, M. Ridha Ajam, saat memberikan sambutan serta pandangannya tentang melanesia, ia mengaku saat ini isu melanesia menjadi penting di berbagai perguruan tinggi, khususnya di perguruan tinggi di mana kawasan melanesia itu berada. “Karena itu ketika kita bicara soal melanesia tidak hanya terfokus pada perbedaan-perbedaan fisik, tetapi banyak sekali hal lain yang bisa kita diskusikan sekaligus kita sosialisasikan. Itu semua akan penting ketika kajian-kajian kita itu berbasis dokumen dan data-data yang dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.
Ridha menjelaskan bahwa secara umum, ketika orang mendengar kata melanesia, bayang yang muncul adalah kelompok etnisitas tertentu. Kelompok ini diidentifikasi memiliki warna kulit yang berbeda dengan kelompok lain. Sebaran kelompok ini juga banyak berada di wilayah Maluku Utara sehingga tidak salah Maluku Utara merupakan episentrum kawasan melanesia. “Kalau kita lihat sejarahnya, kata melanesia itu sebenarnya secara harafia berarti pulau-pulau hitam. Pulau-pulau hitam yang dimaksud adalah beberapa kawasan di dunia ini yang penduduknya kebetulan teridentifikasi sebagai ras tertentu dan kemudian menempati wilayah-wilayah itu,” jelasnya.
Menurutnya, persoalan ras yang berhubungan dengan warna kulit dan lain-lain bukan merupakan suatu masalah kemanusiaan. Karena faktanya, di Maluku Utara, berbagai suku hidup berdampingan secara damai dan saling berinteraksi. “Persoalan rambut, kulit sama sekali tidak memberikan gap untuk kita berinteraksi,” akunya.
Lebih jauh, Ridha menjelaskan bahwa Maluku Utara tidak sekadar menjadi episentrum untuk melanesia tetapi menjadi episentrum di banyak hal, mulai dari pengembangan pengetahuan hingga ekonomi. “Maluku adalah episentrum di banyak hal sehingga kita perlu bicara lebih lantang. Maluku Utara menjadi episentrum pengetahuan. Kita pernah mengenal yang namanya Wallace yang menulis banyak hal dari Maluku Utara dan dikirim ke Darwin kemudian ia mengeluarkan teorinya,” jelasnya lagi.
Selain itu, lanjut Ridha, Maluku Utara juga menjadi episentrum ekonomi karena jika dibandikan secara nasional, pertumbuhan ekonomi Maluku Utara terbilang sangat tinggi. “Tetapi pertanyaan kita sebenarnya, dengan menjadi episentrum ekonomi, apakah kita sudah cukup sejahtera, apakah kita sudah cukup menikmati itu. Tapi kalau belum, apa yang kurang dari itu. Dan itu tanggungjawab yang mestinya kita lakukan bersama-sama. Tidak boleh jalan sendiri-sendiri,” imbuhnya.
Ridha menegaskan bahwa data pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara yang saat ini dielu-elukan pemerintah Indonesia maupun provinsi ternyata tidak berbanding lurus dengan fakta kehidupan masyarakat di Maluku Utara. “Kalau Maluku Utara menjadi episentrum ekonomi seharusnya anak-anak di Maluku Utara tidak perlu lagi bayar uang kuliah, tapi faktanya kemampuan bayar mahasiswa kita masuk pada kategori tiga, cuma satu juta empat ratusan sampai delapan ratusan. Padahal kategori tiga itu kalau kita lihat mahasiswa di Universitas Lain yang sama-sama universitas Negeri, mereka kategori tiga itu tiga juta lima ratusan ke atas. Artinya apa, pertumbuhan ekonomi Maluku Utara 27 persen koma sekian yang menjadikan Maluku Utara sebagai episentrum pertumbuhan ekonomi negara ini tidak seimbang dengan apa yang kita lihat dan rasakan saat ini,” tegasnya
Episentrum lainnya yang disentil Ridha adalah peran kesultanan Tidore dalam memasukkan Papua sebagai bagian dari Indonesia. Menurutnya, Maluku Utara menjadi episentru dalam banyak hal. Untuk itu, perlu ada perhatian serius dari pemerintah pusat. “Kita harus terus-menerus mengingatkan kepada negara ini bahwa wilayah Provinsi Maluku Utara harus dilihat dalam praktik-prakti dan program-program yang nyata, jangan sekadar penyampaian-penyampaian saja,” imbaunya.

Suasana Seminat Nasional
Kegiatan seminar yang dirangkaikan dengan penandatangan kesepakatan kerja sama antara Universitas Khairun dengan Kementerian Luar Negeri ini diakui Yayan G. H. Mulyana, Kepala Badan Kebijakan Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri RI sebagai langkah baik dalam memberikan kontribusi kepada Indonesia dan secara khusus Maluku Utara. “Kami menyampaikan suatu keyakinan bahwa momentum penandatangan ini merupakan keinginan bersama Kementerian Luar Negeri dan Universitas Khairun utk memberikan kontribusi sebesar-besarnya dan manfaat seluas-luasnya dalam upaya menjalankan tugas dan fungsi dua lembaga kita sebagai bentuk pengabdian dan kotribusi bagi pembangunan nasional dan pembangunan lokal,” akunya saat memberikan sambutan.
Sekadar diketahui, kegiatan seminar ini dilangsungkan selama 3 hari sejak tanggal 8 Agustus 2023. Hari pertama diisi oleh para pembicara kunci, sementara dua hari lainnya diisi oleh para peserta pemakalah yang telah mengirimkan makalahnya. Peserta pemakalah akan memaparkan makalahnya secara daring. (*)