Mahasiswa FIB Tampil di PEKSIMINAS
FIB, UNKHAIR – Pekan Seni Mahasiswa Indonesia Nasional (PEKSIMINAS) merupakan puncak kegiatan kemahasiswaan di bidang pengembangan bakat dan minat mahasiswa dalam bidang seni. PEKSIMINAS diselenggarakan sekali dalam dua tahun oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud dengan menunjuk salah satu pengurus BPSMI (Badan Pembina Seni Mahasiswa Indonesia) sebagai panitia penyelenggara kegiatan. Peserta adalah hasil seleksi terbaik dari mahasiswa peserta yang ikut pada pekan seni mahasiswa daerah (PEKSIMIDA). Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan praktik mahasiswa dalam menumbuhkan apresiasi terhadap seni, baik seni suara, seni pertunjukan, penulisan sastra, seni rupa, dan lain-lainnya. Setidaknya beberapa hal inilah yang tercantum di dalam buku panduaan PEKSIMINAS.
Tidak mau ketinggalan, Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Khairun (Unkhair) juga turut andil dalam perhelatan nasional tersebut. Mahasiswa yang ikut pementasan berasal dari jurusan Sastra Indonesia, yaitu Darmawati Akuba. Meskipun belum berkesempatan menjuarai perhelatan itu tetapi pementasannya dianggap memukau. Berikut narasi singkat tentang jalannya pementasan monolog oleh Arifin A. Gafar, salah satu alumni FIB Unkhair yang ikut menyaksikan pementasan tersebut.
* * *
Balada Sumarah dan Lakon Monolog dari Maluku Utara di Peksiminas XIV 2018, ISI Yogyakarta
Hari itu (Kamis, 17/18), beberapa mata lomba Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas), salah satunya Monolog, mengambil tempat di Auditorium Teater, Insitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Balada Sumarah karya Tentrem Lestari, adalah satu dari beberapa naskah monolog yang disediakan panitia, yang kemudian dipilih oleh kontingen Universitas Khairun (Unkhair), Maluku Utara. Naskah ini mengusung tema tentang ketidakadilan dalam diskursus buruh migran Indonesia, sebuah isu yang masih relevan sampai saat ini. Naskah ini, pertama kali dipentaskan secara monolog oleh Luna Vidya, seorang seniman asal Sentani Papua pada Festival Monolog Dewan Kesenian Jakarta, 2005 di Teater Kecil-Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Tim kreatif Unkhiar yang membawakan monoloh Balada Sumarah pada Peksiminas 2018 terdiri dari Wildan, S.S.,M.A. sebagai sutradara, Bahtiar Hairullah sebagai penata musik, Andi Sumar-Karman sebagai penata lighting dan Darmawati Akuba, selaku pelakon monolog.
Sorot lampu mengarah pada titik tengah panggung. Sebuah kursi dan meja berbalut kain hijau yang ditata menyamping disorot cahaya panggung. Cahaya temaran hanya jatuh pada kedua property tersebut. Dengan fokus pencahayaan semacam itu, ilustrasi tentang setting suasana dan peristiwa pertunjukkan menjadi mudah ditangkap; situasi sidang pengadilan. Beberapa propeti pendukung pertunjukkan seperti miniatur batu nisan,…., disoroti lighting setelahnya, menjadi semacam clue bahwa pembabakan cerita telah dimulai. Sorot lampu yang lain mengarahkan mata penonton untuk menangkap sosok perempuan yang didapuk sebagai terdakwa di sidang pengadilan tersebut. Dengan balutan busana hijab serba hitam dan berikat kepala putih, perempuan itu pun berucap dengan intonasi yang tegas:
“Dewan hakim yang terhormat, sebelumnya perkenankan saya meralat ucapan jaksa, ini bukan pembelaan. Saya tidak merasa akan melakukan pembelaan terhadap diri saya sendiri, karena ini bukan pembenaran. Apapun yang akan saya katakan adalah hitam putih diri saya, merah biru abu-abu saya, belang loreng, gelap cahaya diri saya”.
Lalu melanjutkan;
“Nama saya Sumarah, seorang perempuan, seorang TKW, seorang pembunuh, dan seorang pesakitan. Benar atau salah yang saya katakan menurut apa dan siapa, saya tidak peduli. Ini kali terakhir saya biarkan mulut saya bicara. Untuk itu, Dewan Hakim yang terhormat biarkan saya bicara, jangan ditanya dan jangan dipotong, kala waktunya berhenti, saya akan diam selamanya…”.
Pada dialog pembuka yang ditutup dengan suara petir menggelegar, sebagai latar sound itu, perhatian penonton seolah dihantarkan oleh si pencertia, atau dalam hal ini pelakon monolog untuk memasuki dunia sang tokoh bernama Sumarah tersebut. Sumarah yang seorang pesakitan itu beranjak dari tempat duduknya. Air mukanya tegas tapi sekaligus menegangkan. Sambil menangkat kursinya sendiri, ia melantangkan apa yang disebutnya bukan sebagai pledoi;
“Saya tidak butuh pembela, saya tidak butuh penasihat hukum. Karena saya tidak mampu membayarnya. Saya juga tidak mampu dan tidak mau memberikan selipan uang pada siapapun untuk melicinkan pembebasan dari segala tuduhan. Toh semua sudah jelas! Semua tuduhan terhadap saya, benar adanya. Segala ancaman hukum, vonis mati, saya terima tanpa pembelaan, banding atau apalah namanya”
Selanjutnya, alur cerita monolog bertajuk “Balada Sumarah” itu mengalami flashback. Adegan-adegan yang dibawakan Darmawati Akuba, lalu mengurai satu demi satu riwayat perjalanan hidup Sumarah sampai pada akhirnya ia berada di kursi pesakitan saat ini. Secara utuh teks monolog ini berkisah tentang kehidupan seorang buruh migran perempuan yang nasib hayatnya harus berakhir tragis di meja pengadilan sebagai terpidana mati. Dari dialog-dialog pementasan tersebut, penonton bisa dengan mudah menangkap bagaimana alur ceritanya. Dan, Darmawati Akuba, sang pelakon monolog, cukup baik menghadirkan sejarah hidup Sumarah yang berceruk dan berkerikil itu kepada penonton, tentang betapa pahit dan sialnya menjadi seorang Sumarah yang miskin, terbuang, lalu akan siap terbunuh. Aroma diskriminasi, intimidasi, pemarjinalan, merupakan unsur-unsur peristiwa yang melingkupi kehidupan sang tokoh.
Lahir dan besar dari sebuah keluarga sederhana yang tidak utuh lantaran sang ayah raib entah kemana, sosok yang menjadi asing sejak Sumarah masih berusia belia. Ibunya berkisah bahwa ayahnya memang sengaja hilang atau tepatnya dihilangkan karena dituduh menjadi anggota PKI. Sejak saat itu, bayangan ayahnya menjadi alasan sekaligus jawaban atas pertanyaan mengapa kehidupan keluarganya terus berada dalam kotak kemiskinan yang seolah digembok rapat. Namun begitu, Sumarah membuktikan dirinya menjadi seorang siswa teladan, sampai lulus SMA. Nilai-nilai pancasilais menjadi laku hidup Sumarah saat bersekolah dulu. Tapi semua nilai unggul itu; lulusan SMA terbaik, Nilai Ujian tertinggi, Siswa Teladan, seperti tak berguna. Dengan ijazah dan berbagai predikat “ter” nya itu, Sumarah tak memperoleh pekerjaan, bahkan hanya sebagai petugas administrasi rendahan sekalipun. Keadaan serba menghimpit itu menyeretnya menjadi buruh pabrik, hingga kemudian memaksanya untuk mengambil pilihan menjadi TKW di Arab Saudi, sebuah pilihan yang semula dia bayangkan akan menuntunnya untuk “bermetamofosa dari ulat bulu menjadi kupu-kupu indah di negeri orang”. Nasib berkata lain, selang beberapa tahun menjadi buruh migran, ia justru diperkosa oleh majikannya sendiri. Sumarah yang kalap, dengan rasa sakit yang sangat dalam menghabisi nyawa si tuan majikan. Lantas, hukuman apa yang pantas bagi seorang pembunuh seperti Sumarah ini?
Lakon Monolog Darmawati Akuba
Menyaksikan lakon monolog Balada Sumarah yang dimainkan Darmawati Akuba tersebut, salah satu peserta dari Universitas Khairun (Unkhair), Maluku Utara pada gelaran Peksiminas 2018, patut diberikan apresiasi yang tinggi. Penampilannya cukup apik. Selain karena mampu membumbui unsur teatrikal pada beberapa adegan dialog) secara menawan, mahasiswi Fakultas Sastra dan Budaya itu juga mampu mengurutkan setiap adegan peristiwa dari teks monolog yang berlembar-lembar tersebut, dengan runtut dan padat sehingga terasa pas dengan durasi waktu yang telah ditentukan panitia. Hanya menyisakan kurang lebih 1 menit dari total durasi 15 menit lamanya. Beberapa peserta lainnya malah harus kehilangan part dialog akhir karena melebih total durasi. Layar panggung biasanya akan ditutup jika sudah mencapai limit waktu pementasan, meskipun terlihat dialog-dialog si pelakon belum diselesaikan. Terlepas dari soal penjurian, jika seperti itu, tentu saja alur ceritanya mengambang, tidak mencapai pada bagian penyimpulan.
Darmawati yang melakonkan tokoh Sumarah tampil dengan karakternya sendiri. Balutan warna pada kostum, properti, latar panggung dan sound yang dominan gelap atau pekat serta guyuran cahaya temaran dari lighting panggung seperti menjadi komposisi yang padu untuk menghadirkan nuansa tragik sebagaimana unsur yang menonjol dalam teks cerita monolog tersebut. Rupanya, dewan panitia memberikan keleluasaan bagi setiap peserta, atau dalam hal ini tim kreatif yang mewakili masing-masing perguruan tinggi atau daerah untuk menafsirkan kembali isi naskah yang dipilih. Inilah yang barangkali memberi nuansa yang selalu berbeda dari setiap peserta, misalnya terlihat pada pemilihan kostum, properti pertunjukan, setting panggung, penokohan, dan perombakan urutan cerita.
Hal lain yang tampak berbeda pada monolog Darmawati adalah ending cerita yang disimpulkan mengenai perjalanan Sumarah. Para peserta atau pelakon, sebelum dan sesudah Darmawati, mengilustrasikan kisah hidup Sumarah selalu berakhir tragis; mati di tiang gantung, atau dihukum pancung. Sedangkan lakon Darmawati, menyerahkan hidup Sumarah pada palu hakim. Dengan ending semacam ini, dan berbeda-beda tersebut, penonton seolah diberi kebebasan untuk menafsirkan sendiri apa yang menyedihkan dari hidup seorang Sumarah. Pertanyaannya lalu, “apa yang membuat sejarah Sumarah itu begitu tragisnya? Apakah hukum pemancungan itu? Ataukah nalar hukum yang selama ini menjadi biang keroknya, nalar hukum yang abai pada asas keadilan sosial, dan gersang akan nilai kemanusiaan?” Simbolisasi palu hakim seolah memberi penekanan kepada penonton bahwa Sumarah justru telah tewas sedari awal jauh sebelum ia dieksekusi di tiang gantung, dan yang mengerikan itu bukanlah golok, pistol, atau apapun yang digunakan algojo, melainkan palu hakim.
Sepanjang pementasan, Darmawati tampil cukup stabil terutama jika mendengarkan olah vokalya, penguasaan panggung serta bagaimana ia mampu membagi dialog sesuai script dari sang stradara. Tidak ada kecanggungan sedikitpun. Padahal, ruang pertunjukkan saat itu cukup banyak diisi penonton. Meskipun demikian, tampak bahwa ekspresi Darmawati sedikit emosional, sehingga karaktar-karakter tertentu yang seharusnya ditampilkan berbeda, justru tidak terlalu mencuat. Harus diakui memang monolog yang merupakan bagian dari seni teater ini punya tingkat kerumitan yang cukup tinggi. Menghafal naskah adalah bagian kecil dari proses pendalaman karakter. Jika pada seni teater atau drama, akan terjadi dialog antara dua atau lebih pemeran, maka pada monolog, dialog hanya akan dilakoni oleh satu pemeran tunggal. Selain itu, pelakon monolog juga harus bisa memindahkan satu karakter tokoh ke karakter tokoh berikutnya. Dari sinilah, segi penguasaan emosi yang baik itu sangat menentukan.
Jika membaca naskah Balada Sumarah, akan terlihat bagaimana karya ini memberikan tantangan tersendiri bagi tim kreatif yang mengurusi pementasan Darmawati. Salah satunya adalah panjangnya naskah, kurang lebih sebanyak 9 lembar saat diprint-out. Wildan selaku sutradara, mengaku bahwa tantangannya selama persiapan tidak hanya pada konteks penghafalan teks bagi pelakon, namun juga tim kreatif, termasuk Darmawati sendiri, harus berupaya menerjemahkan isi naskah secara maksimal. Proses ini diakui cenderung singkat lantaran tahapan persiapan di Maluku Utara sendiri juga relatif ringkas. Belum lagi, soal jarak dan limit waktu saat tiba di Yogyakarta, yang tidak memungkinkan bisa menghadirkan unsur-unsur pendukung pertunjukkan secara total, semisal properti, tim teknis dan penetaan panggung.
Sebuah Apresiasi dan Harapan
Selepas tampil, Darmawati terlihat sumringah. Ada semacam beban yang sudah berhasil dilepasnya. Kepada kami, mahasiswi semester 7 ini mengaku bahwa penampilannya itu masih jauh dari nilai sempurna. Namun begitu, apa yang telah dibawakannya itu patut diapresiasi karena bisa melakonkan sebuah naskah yang panjang tanpa ada kesalahan dalam pelafalan teks atau lupa akan adegan-adegan krusial di atas panggung. Belum lagi, jika melihat nilai penting dari gelaran ini, sebuah gelaran berskala nasional. Tidak semua orang lokal bisa menanggung tanggung yang berat seperti ini. Lebih dari itu, Darmawati adalah salah satu dari sedikitnya perempuan muda Maluku Utara yang punya atensi pada seni peran, monolog. Jika menyebut siapakah penyanyi perempuan Maluku Utara, mungkin akan lebih mudah menyantolkan siapa saja sosok penyanyi tersebut, namun tidak pada seni peran; siapakah pelakon monolog Maluku Utara?
Terlepas dari soal penilaian tersebut, lakon Darmawati dalam Balada Sumarah mampu menyuguhkan sesuatu yang khas. Kemampuannya menguasai naskah, mengolah adegan dengan nuansa teatrikal yang dinamis, mengurutkan peristiwa dengan ending yang berbeda, memberi warna lain pada sesi pertunjukkan Monolog Peksiminas 2018 kali ini. Di luar dari hasil penjurian kelak, Auditorium Teater, ISI-Yogyakarta itu setidaknya telah mencatat salah satu bakat perempuan muda asal Maluku Utara tersebut. Pasca pementasa, Wildan Mattara, sang sutradara yang juga berperan sangat baik di balik kelancaran pementasan Darmawati turut menyampaikan harapannya bahwa Peksiminas bisa menjadi panggung atau ruang belajar yang potensial dalam mendidik generasi muda Maluku Utara di bidang seni peran. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Khairun tempat Darmawati berstudi juga diharapkan dapat terus mencuatkan kreatifitas seni, terutama pada bidang teater. Hal ini penting, mengingat bidang seni yang satu ini sejauh ini dirasakan masih sepi peminat, padahal ajang berskala nasional cukup banyak memberi tempat, suatu kesempat yang baik untuk melambungkan prestasi anak muda Maluku Utara. (*)